30 Detik
Itu dia. Sosok berbadan tegap dengan pandangan yang selalu lurus ke depan. Sosok yang melangkah cepat tanpa memedulikan wajah-wajah imut anak kelas sepuluh yang entah mengapa selalu siap menebar pesona di taman, kantin dan sepanjang koridor sekolah. Sosok seorang mantan ketua OSIS yang baru saja melepas jabatannya, senior paling baik yang nggak pernah jahil ke juniornya. Sosok yang mudah saja kau temui di perpustakaan dan mushalla. Sosok yang begitu mencintai anak-anak. Sosok yang kukagumi selama ini.
Aku yang tengah duduk di tangga segera mengalihkan pandangan ke buku yang tergeletak di sebelahku, pura-pura berkonsentrasi pada apa yang kubaca. Yang benar saja, masa iya aku harus tertangkap basah tengah memperhatikannya?
“Assalaamualaikum.”
“Waalaikumussalaam.”
Terjadi lagi. Percakapan rutin setiap pagi. Ia yang tengah berjalan menuju kelasnya, melewati tangga tempat aku (berpura-pura) belajar. Ia mengucap salam, lalu kujawab. Tanpa ada saling tatap. Tanpa ada saling melempar senyum, apalagi percakapan yang lebih dari 30 detik. Tapi, tetap, membuat jantungku kehilangan ritme normalnya untuk berdetak.
“Waalaikumussalaam.”
Terjadi lagi. Percakapan rutin setiap pagi. Ia yang tengah berjalan menuju kelasnya, melewati tangga tempat aku (berpura-pura) belajar. Ia mengucap salam, lalu kujawab. Tanpa ada saling tatap. Tanpa ada saling melempar senyum, apalagi percakapan yang lebih dari 30 detik. Tapi, tetap, membuat jantungku kehilangan ritme normalnya untuk berdetak.
Aku berjalan sambil membawa sekardus baju layak pakai yang akan disumbangkan ke panti asuhan. Hari ini, perwakilan dari SMA tempatku bersekolah akan mengunjungi sebuah panti asuhan yang terletak di pinggir kota. Dan seperti yang kuduga, ia ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini. Ah, sudahlah. Kenapa aku jadi berlarut-larut memikirkannya seperti ini sih?
Acara pembukaan diisi dengan pertunjukan dari anak-anak panti. Mereka tampak begitu ceria. Yah, seandainya saja tak ada luka karena tak memiliki orangtua, yang tampaknya berhasil mereka sembunyikan rapat-rapat. Dalam hati aku bersyukur, berterimakasih pada-Nya yang telah menghadirkan aku di antara orangtua yang lengkap, disertai bonus bahwa mereka serba berkecukupan.
Tiba-tiba seorang anak panti mendekatiku. Umurnya kira-kira 4 atau 5 tahun. Ia memintaku untuk membacakan sebuah cerita. Aku tersenyum dan mulai membaca, meski masih tak bisa sebagus Ibu panti saat mendongeng di pembukaan tadi, bahagia rasanya bisa melihat mata mereka yang berbinar penasaran. Membuat mereka tersenyum geli dan tertawa.
“Eh kakak itu juga baca cerita lho!” Seorang anak berseru, dan menunjuk ke suatu titik. Lalu serentak sekelompok anak yang tadi mendengarkanku berlari ke seorang kakak yang tengah membacakan kisah sahabat rasul itu. Aku hanya ikut memandangi tujuan anak-anak itu berlari, namun tanpa kuduga, kakak itu tersenyum ke arahku. Dan sudut-sudut bibirku pun tertarik begitu saja. Membalas senyumnya, senyum yang selama ini kuperhatikan diam-diam. Senyum milik seseorang yang kukagumi. Ya Allah, tak bisakah Kau membiarkanku menikmati senyumnya setiap hari? Disaat senang dan sedihku, di pagi dan malamku?
Waktu bergulir, hari demi hari terlewati dengan cepat. Tujuh tahun telah berlalu, menyisakan beribu kenangan, dan berjuta harapan. Jejak kekaguman itu masih ada, memberi warna di hatiku yang kosong. Ah, jodohku, maafkan aku yang tak bisa sepenuhnya menjaga hatiku untukmu. Karena ternyata, hati ini masih saja menyimpan setitik kagum pada seseorang.
Kuliahku selesai tiga tahun lalu. Kini, aku adalah seorang desainer interior yang bekerja di sebuah perusahaan. Dan, yah, masih melajang. Haha, entahlah. Aku hanya belum siap menerima orang lain di hatiku. Lalu bagaimana dengannya? Yang kutau, sosok itu telah menjadi seorang dokter dan bekerja di sebuah rumah sakit swasta, dan tengah melanjutkan studi spesialis. Statusnya? Entah, tak menutup kemungkinan bahwa telah ada seorang wanita yang menemaninya, atau bahkan ditambah seorang anak yang lucu. Hmm, lagi-lagi senyumku terkembang begitu saja. Yah, aku hanya bisa tersenyum mengingat sosok yang kukagumi itu.
Aku mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Saat pintu terbuka, terlihat sosok mama yang tengah tersenyum lebar masuk. Ah, ekspresi itu lagi. Yang belakangan ini mama tunjukkan saat ingin mengenalkanku pada seorang pria, entah anak teman mama atau anak kolega papa.
“Mama, Aila kan udah bilang. Aila belum siap ma,” semburku. Mama mendecakkan lidah. Pura-pura kecewa melihat ekspresinya sudah ditebak.
“Udah, turun aja dulu, La! Setidaknya hargailah dia yang sudah meluangkan waktu datang kesini.” Kata mama kemudian. “Kalo mama jadi kamu sih, mama mau sama yang ini,” dan senyum jahil terlihat di paras awet muda mama.
Ah, mamaku ini, ada-ada aja deh. Aku lantas mengganti pakaian dengan baju yag ‘lebih pantas’ dan mengenakan jilbab seadanya. Hm, siapa ya? Anak kolega papa kah? Atau anak teman arisan mama? Ah, lebih baik kucari tau sendiri. Aku langsung menuju ruang tamu, dan mendapati papaku tersenyum lebar.
“Mama, Aila kan udah bilang. Aila belum siap ma,” semburku. Mama mendecakkan lidah. Pura-pura kecewa melihat ekspresinya sudah ditebak.
“Udah, turun aja dulu, La! Setidaknya hargailah dia yang sudah meluangkan waktu datang kesini.” Kata mama kemudian. “Kalo mama jadi kamu sih, mama mau sama yang ini,” dan senyum jahil terlihat di paras awet muda mama.
Ah, mamaku ini, ada-ada aja deh. Aku lantas mengganti pakaian dengan baju yag ‘lebih pantas’ dan mengenakan jilbab seadanya. Hm, siapa ya? Anak kolega papa kah? Atau anak teman arisan mama? Ah, lebih baik kucari tau sendiri. Aku langsung menuju ruang tamu, dan mendapati papaku tersenyum lebar.
“Nah, ini dia Aila. Sini, nak! Ada kabar baik buat kamu.” Papa menyambutku, dan terlihat seorang pria dengan kedua orangtuanya ikut berdiri dan tersenyum padaku.
Tunggu.
Benarkah itu? Bisakah aku percaya pada penglihatanku sekarang? Pada sepasang mata yang tengah menangkap bayangan orang yang selalu dikaguminya. Yang membuat otakku mengirim sinyal ke jantung dan membuatnya berdetak lebih cepat. Yang membuat senyumku terkembang kala mengingatnya. Atau, mungkinkah ternyata semua ini khayalku saja? Begitu merindunya, hingga wajah pria itu terlihat seperti dirinya. Aku membeku di tempat.
“Kak Rian?” Bahkan kini lidahku kelu, dan hanya nama itu yang terucap. Ah, aku mulai mengkhawatirkan tingkat kesadaranku. Jangan-jangan esok hari aku terbangun dan menemuka diriku terjatuh dari kasur. Namun ternyata, pria itu justru tersenyum kecil.
“Assalaamualaikum, Aila.”
Ya Allah, mungkinkah percakapan yang dulu tak lebih dari tiga puluh detik itu berubah menjadi kisah indah hingga akhir nafasku nanti?
Benarkah itu? Bisakah aku percaya pada penglihatanku sekarang? Pada sepasang mata yang tengah menangkap bayangan orang yang selalu dikaguminya. Yang membuat otakku mengirim sinyal ke jantung dan membuatnya berdetak lebih cepat. Yang membuat senyumku terkembang kala mengingatnya. Atau, mungkinkah ternyata semua ini khayalku saja? Begitu merindunya, hingga wajah pria itu terlihat seperti dirinya. Aku membeku di tempat.
“Kak Rian?” Bahkan kini lidahku kelu, dan hanya nama itu yang terucap. Ah, aku mulai mengkhawatirkan tingkat kesadaranku. Jangan-jangan esok hari aku terbangun dan menemuka diriku terjatuh dari kasur. Namun ternyata, pria itu justru tersenyum kecil.
“Assalaamualaikum, Aila.”
Ya Allah, mungkinkah percakapan yang dulu tak lebih dari tiga puluh detik itu berubah menjadi kisah indah hingga akhir nafasku nanti?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar