EMBUN CINTA PART. I
Cerpen Karya Desy Dwi Aryani Suandi
“Aira..
bangun Aira, ini sudah subuh, yuk kita shalat berjamaah.” Sayup-sayup
suara asing itu berbisik di telinga kananku. Sekali lagi. “Aira.. maaf
kalau aku mengganggu tidurmu, tapi sesungguhnya shalat subuh berjamaah
di awal waktu itu pahalanya besar Aira.. Yuk shalat.”
“Mmmm… Aku masih ngantuk… shalat duluan aja, aku nanti belakangan.” Aku membalikkan tubuhku kearah kanan dan membelakanginya.
Ku
dengar perlahan langkah kakinya menjauhiku. Ku lanjutkan lagi tidurku
yang sempat terganggu. Aku berusaha untuk menyelami kepulasan tapi
gagal. Namun aku masih memejamkan mataku seolah tertidur lelap. Beberapa
saat kemudian, ku balikkan tubuh ku menghadap ke sebelah kiri. Sesosok
orang asing dengan tubuh tinggi yang memakai baju koko warna putih
dengan bawahan celana hitam dan kepalanya ditutupi peci hitam tengah
khusuk menjalankan shalat subuh.
Ya, dia Hafiz. Seorang dokter yang
bekerja di RS di Kota Mataram. Orang asing yang baru aku kenal beberapa
hari lalu, dan kini aku sudah menyandang status sebagai istrinya. Status
yang aku anggap sebagai mimpi terburuk yang menghancurkan masa depanku.
Kulirik
ke arahnya yang sedang zikir. Dia menoleh ke arahku. Aku terkejut dan
langsung kembali memejamkan mataku. “Sudah bangun Aira? Shalat dulu yuk,
gak baik tidur terus.” Dengan lembut dia kembali membangunkanku.
“Mmm…
Iya aku tahu. Ini juga mau bangun shalat.” Aku bangun dari tidurku yng
pura-pura. Aku menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu. Dinginnya air
serasa menusuk tulangku. Dan juga hatiku tentunya. Lalu aku kembali ke
kamar dan menjalankan kewajibanku sebagai ummat islam.
Waktu
menunjukkan pukul 07.30. “ Aira, aku berangkat ke kantor ya.” Dia bangun
dari meja makan dan izin kepadaku yang tengah membereskan meja makan.
“Mmm…” Hanya itu jawabanku.
Dia
mengambil tasnya yang ada di kursi. “Assalamualaikum.” Dia mengulurkan
tangannya ke arahku. Tapi aku tak menanggapinya, aku hanya melanjutkan
pekerjaanku seolah tak melihatnya. “Ya udah, aku berangkat.” Dia berlalu
dari ruang makan.
Aku termenung,merenungi betapa buruknya nasibku.
Mengapa aku bias menikah dengan orang-orang yang aku tidak kenal sama
sekali. “Ya, ini semua salah orang tuaku, mereka menjodohkan aku dengan
orang itu. Orang yang namanyapun aku tidak ingin ucapkan.” Gerutuku
dalam hati.
Air mataku berlinang mengingat hari dimana aku
merasakan langit seolah tuntuh di atas kepalaku. Ya itu hari dimana aku
tahu bahwa aku akan menikan dengannya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa,
aku tidak mungkin menentang orang tuaku. “Aira, ini sudah waktunya kamu
menikah. Ibu dan bapak sudah mendapatkan seseorang yang cocok untukmu.
Dia baik, soleh, dan tampan. Dia juga sidah mapan. Dia bisa menjadi imam
yang baik buat kamu.” Kata-kata ibu itu terus terngiang di telingaku
hingga saat ini. Membuat hatiku semakin hancur jika mengingat kata-kata
itu.
“Ya Allah, mengapa ini harus terjadi kepadaku. Mengaka Kau
takdirkan aku menjadi istri orang yang aku tidak cintai, aku bahkan
tidak mengenalnya sama sekali. Mengapa Ya Allah, apa salahku.” Aku
menangis tersedu menyesali nasib sialku ini.
Aku tidak bisa berbuat
apa-apa, aku tidak mungkin pergi darinya. Aku tidak mungkin melakukan
hal yang membuatku menjadi istri yang murka. Aku adalah seorang muslimah
dan seorang istri.
***
Aku mengajar di sebuah lembaga kursus
di Kota Mataram. Dan aku sedang menyiapkan perlengkapanku untuk pergi
mengajar. “Aira, kamu mau kemana?” Tanya Hafiz.
“Ya ngajarlah. Gak liat aku sedang beresin buku-buku.” Jawabku ketus.
“Apa permintaanku yang kemarin tidak bias kamu penuhi Aira?” Kata Hafiz dengan lembut.
“Permintaan apa?”
“Apa tidak sebaiknya kamu berhenti bekerja? Biarkan aku saja yang mencari nafkah. Kamu cukup di rumah saja Aira.”
Aku
menghentikan mengemas buku-bukuku dan berbalik ke arahnya yang berada
di Airaat pintu. “Jangan kamu fikir dengan aku jadi istri kamu, kamu
bias mengatur aku seenaknya. aku menang istrimu, tapi ingat kamu tidak
bias memiliki aku bahkan hatiku. Kamu tidak bias memaksakan kehendakmu
padaku.” Tatarku dengan nada meninggi.
“Bukannya aku memaksa tapi hanya meminta Aira.”
Apa bedanya. Sama saja.”
“Ya sudah kalau itu mau kamu Aira. Maaf kalau aku membuatku kesal.”
Aku diam. Dan kembali mengemas buku, dan mengambil tasku, lalu keluar dari kamar.
“Aku antar ya Aira?” Tawarnya.
“Gak perlu. Aku bias jalan sendiri.” Tolakku tanpa melihat ke arahnya.
“Aira, aku ini suamimu, aku punya kewajiban menjagamu dan menemanimu.” Dia meraih tangan kiriku.
Seketika aku melepaskan genggamannya. Aku dia sejenak lalu mengangguk.
***
Ini
bulan kedua aku menjadi istri dr. Hafiz. Dan keadaan sama sekali tudak
berubah semenjak hari pertama pernikahan kami. Masih saja aku dingin
terhadapnya. Bahkan sejak malam pertama pernikahan itu hingga sekarang
aku tidak pernah ingin tidur seranjang dengannya. Dia tidur di sebuah
sofa yang ada di pojok kamar dan aku tidur di ranjang. Tapi dia tidak
pernah mengeluh sedikitpun dengan apa yang aku lakukan. Aku belum siap
melakukan hal yang tidak aku kehendaki, meskipun itu sebuah kewajibanku
sebagai seorang istri.
Suatu hari, kami berkunjung ke rumah
mertuaku karena di sana ada syukuran atas kelahiran putra pertama kakak
iparku. Tak ku sangka, aku diperlakukan sebagai seorang putri oleh
mertuaku. “Ini menantu saya, istrinya Hafiz, namanya Khumaira.” Ibu
mertuaku memperkenalkan aku yang sedang duduk de sebelahnya kepada
beberapa ibu-ibu pengajian yang menghadiri syukuran itu. Aku hanya bisa
menunduk dan tersenyum.
“Wah, cantik ya, anggun lagi. Nak Hafiz pasti beruntung memiliki istri seperti bidadari.” Puji salah seorang rekan ibu mertuaku.
“Iya,
Hafiz selalu bercerita tentang istrinya. Dia sangat beruntung bisa
menikah dengan Khumaira, ya meskipun mereka dijodohkan.” Jelas mertuaku
yang membuat aku begitu terkejut. Air mukaku berubah seketika.
“Apa?
Hafiz bercerita seperti itu pada ibunya? Kenapa? Kenapa dia berbohong
pada ibunya? Kenapa dia menutupi perlakuan burukku kepadanya selama
ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di benakku.
“Selain cantik, dia juga istri yang soleha.” Sambung mertuaku.
“Aku memang wanita berjilbab. Tetapi aku bukan istri seperti apa yang dikatakan mertuaku.” Gerutuku dalam hati.
“Terima kasih.” Jawabku dengan nada lembut.
“Kapan nih Bu Aisyah dapat cucu dari hafiz dan Khumaira?” celetuk seorang ibu kepadaku.
Aku
hanya terdiam, masih tenggelam dalam rentetan pertanyaan di benakku.
“Mungkin belum di kasi sama Allah. Insya Allah sebentar lagi.” Ibu
mertuaku menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadaku.
“Semoga saja cepat ya.” Ibu yang tadi menyambung.
“Iya. Aamiin.” Jawabku singkat sambil tersenyum. “Permisi, saya ke belakang dulu, masih ada kerjaan.” Sambungku lagi.
“Iya nak, silahan.” Kata mertuaku.
Aku
meranjak dari dudukku meninggalkan mertuaku dan teman-temannya yang
marih menjadikanku sebagai topic perbincangan mereka. Aku berjalan
melewati beberapa orang yang tengah duduk berbincang sembari sesekali
melemparkan senyum kepada para tamu yang melihat ke arahku. Aku menuju
dapur, dan duduk di sebuah kursi. Disana sepi karena orang-orang sedang
sibuk. Aku menenggelamkan mukaku ke dalak kedua tanganku yang bertumpu
di atas meja. Aku menghela nafas panjang. “Ya Allah, begitu jahatnya
aku. Dia laki-laki yang baik tapi aku sama sekali tidak menghargainya.
Maafkan aku Ya Allah.” Renungku dalam hati.
“Aira, sedang apa di sini?” Suara Hafiz menyadarkanku dari lamunanku.
Aku mengangkat kepalaku dan menatap ke arahnya. “Aku tidak apa-apa.”
“Kamu capek Aira? Mari aku antar beristirahat di kamar.” Tawarnya sambil mengulourkan tangan kanannya.
“Enggak, aku gak apa-apa kok.” Jawabku singkat.
Dia menarik kursi dan duduk menghadapku. Aku kembali menunduk. “Sedah makan Aira? Aku
“Makasi, tapi aku belum lapar.” Jawabku.
Dia bingung melihar raut mukaku. “Ada apa? Cerita aja Aira. Gak apa-apa kok.”
“Enggak kok.” Aku tersenyum dengan agak tertahan.
“Ya udah, nanti kalau aAira mau apa-apa, bilang saja ya.”
“Iya.”
Dia beranjar dari kursi.“Bisa kita pulang sekarang?” Pintaku saat dia hendak berlalu.
Dia membalikkan badannya dan menghadap ke arahku. “Kamu mau pulang Aira?” tanyanya.
“Iya. Aku agak gak enak badan. Aku mau pulang.” Terangku.
“Ya udah, aku bilang sama ibu dan bapak dulu ya.”
“Iya.”
Dia berlalu.
Kami pamit sama ibu dan bapak mertuaku.
“Kalian hati-hati ya.” Kata bapak mertuaku.
“Iya pak.” Jawab Hafiz.
Kami bersalaman. “Assalamualaikum.” Kami bersamaan mengucap salam.
“Waalaikumsalam.” Jawab mereka.
Di
perjalanan pulang, tak sepatah katapun keluar dari mulutku. Begitupun
dengan Hafiz. Saat ini aka hanya ingin menenangkan diriku dari
pikiran-pikiran yang masih melekat di otakku. Sepanjang perjalanan,
kata-kata ibu mertuaku terus terbayang. Begitu baiknya aku dimatanya.
Dia tidak tahu bahwa apa yang dikatakan anaknya itu adalah kebohongan.
Memang didepan keluarga hafiz, kami bersikap seolah tidak ada masalah
dalam rumah tangga kami. Hafiz begitu pintarmenutupi hal itu. Di hadapan
orang tuanya, dia berlagak seolah aku ini istri yang sempurna untuknya,
jauh dari apa yang sebenarnya terjadi antara kami.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar