~I THINK I MISS YOU~
BAB 1
CHINDAI POV
Aku duduk pada sofa cafe yang empuk dan
hangat. Musim dingin berlalu lebih cepat kurasa.
Tanpa aku sadari musim semi sudah tiba. Bukan.
Bukan salah cuaca atau dunia yang sudah tua.
Tapi aku yang tak pernah ingat bahwa hari-hari
telah memiliki kalender dan jam yang nyata. Aku
sering melewatkan kesenangan melihat dua benda
penunjuk waktu itu. Kesibukan, alasanku. Aku
habiskan duniaku berputar-putar di dalam
kehidupan perusahaan yang mungkin hanya akan
menenggelamkan aku semakin dalam pada dunia
yang tanpa perasaan.
Inginnya aku tak punya perasaan saja memang.
Tapi aku manusia biasa. Luar biasa sih, kadang-
kadang, menurut teman-temanku. Luar biasa aku
bisa hidup dengan tidak mempedulikan semuanya
jika aku sudah berkeinginan demikian.
Suara musik yang tak asing mengalun mengisi
telingaku. Kiss The Rain yang disuguhkan dengan
permainan piano Yiruma benar-benar musik yang
bisa kudengarkan berulang-ulang tanpa bosan.
Karena itulah musik ini kujadikan nada dering
ponselku.
Dengan malas-malasan aku merogoh
saku hoodieku, mengambil telepon genggam.
Masih dengan ngantuk berat aku menempelkan
telepon genggam itu ke telingaku.
“Hallo…” Aneh.
Aku tak mendengar ada nada telepon yang
terputus atau suara apa pun dari telepon
genggam itu. Aku membuka mata dan melihat
layar ponselku. Tak ada panggilan atau pun
pesan masuk. Alunan suara piano itu terdengar
lagi. Dari arah di depanku.
Saat aku mencari darimana suara itu berasal,
segera kutemukan seorang pria berpenampilan
rapi dengan sikap santai sedang duduk seraya
meneguk kopi di hadapanku. Dia? Rasa kantukku
hilang dalam sekejap.
A...apa yang dia lakukan di sini?
Senyum melintas di wajah pria itu ketika ia
meletakkan cangkir kopinya di meja dan
mendapati aku begitu terkejut akan kehadirannya.
“Sudah bangun? Maaf, suara handphoneku
membangunkan putri tidur.”
“Sedang apa kamu di sini?” Aku menegakkan
posisi
dudukku seraya sekenanya merapikan rambutku
yang kusut.
Mata pria itu memandangku geli. “Minum kopi.”
Ia menjawab singkat pertanyaanku.
“Se...sejak kapan duduk di situ?” Aku tak tahu
kenapa dia selalu bisa membuatku gugup.
“Sejak lima cangkir kopi.” Ia menjawab begitu
santai.
Lima cangkir… seharusnya dia minum lima
cangkir racun saja! Jadi aku tak harus melihat
wajahnya lagi.
Aku beranjak dari kursiku. Aku tak ingin
melanjutkan percakapan dengan pria itu.
“Kenapa?” Suara pria itu seketika terdengar
serius, nada santai yang sejak tadi tersuguh
hilang entah kemana.
Langkahku terhenti di samping kursinya. “Apa?”
“Kenapa kamu pergi?”
Aku mengernyitkan dahi. “Jemputanku sepertinya
sudah datang.” Aku menjawab seadanya, lalu
meninggalkan dia di kursi itu.
Dia bukan pria asing buatku. Tapi aku sangat
ingin menjadikannya asing seperti sebelum
pertama kali kami bertemu. Satu tahun yang lalu.
***
Maret 2010. Musim semi itu memang mencairkan
salju.
Sembari menikmati langit biru jernih dan
keramaian yang ingin berteman, aku menarik
garis-garis tegas di atas buku sketsaku, goresan
pinsilku menghasilkan sebuah gambar sepasang
muda-mudi yang tersenyum bahagia. Begitu
gambar selesai, aku segera menyerahkannya
kepada gadis remaja yang sejak lima menit lalu
menunggu hasil sketsa itu.
Ucapan terima kasih dan senyuman tulus seperti
yang diberikan gadis remaja berpenampilan ala
kogal[1] dan pemuda berbalut nuansa penyanyi
idola Korea itu aku lihat setiap hari saat aku telah
menyelesaikan sketsaku. Kepuasan akan
senyuman itulah yang menyeretku ke dalam dunia
goresan kisah di atas kertas ini.
Aku kembali bersandar pada monumen patung
perunggu di depan Stasiun Shibuya itu. Mataku
menyapu keramaian sekali lagi, merekam dalam-
dalam dunia manusia aneka gaya. Masing-
masing semuanya punya warna. Menatap warna-
warna itu, aku terpaku. Satu hal tentang itu.
Mereka semua seperti kebanyakan sedang
menunggu. Mengingatkan aku pada kisah si
patung perunggu yang kusandari sejak tadi.
Hachiko. Entah menurutmu, tapi bagiku kisahnya
yang begitu nyata terasa lebih menyentuh saja
dibandingkan dengan kisah cinta klasik Romeo &
Juliet atau pun Titanic. Kisah tentangnya hidup
pada masa delapan puluh enam tahun silam.
Melalui seorang perantara Hachiko dipungut oleh
keluarga Ueno yang sangat ingin memelihara
anjing jenis Akita Inu. Hachiko dipelihara oleh
Profesor Hidesaburo Ueno yang mengajar ilmu
pertanian di Universitas Kekaisaran Tokyo. Daya
tarik kisah Hachiko yang menggerakkan
perasaanku adalah suatu momen ketika Hachiko
setiap hari selalu mengantar dan menjemput sang
majikan di stasiun setiap kali majikannya pergi
dan pulang dari bekerja. Hingga setelah sang
majikan meninggal di tempat kerjanya, Hachiko
tetap menunggu sang majikan yang tidak kunjung
pulang di Stasiun Shibuya. Ia terus menunggu
dengan setia hingga akhir nyawanya. Jasad
Hachiko kemudian dimakamkan di samping
makam sang majikan.
Kisah tentang Hachiko tak hanya menggerakkan
perasaanku, tetapi cerita itu pun menyentuh
banyak orang yang hidup dan menyaksikan
kisahnya di kala itu. Hingga kemudian seorang
pematung bernama Teru AndÅ mengabadikan
kesetiaan Hachiko dalam sebuah patung perunggu
yang lalu diletakkan di depan stasiun shibuya.
Hari ini seperti kemarin. Ramai disekitar
monumennya. Begitu khas, ia menjadi tempat
bertemu bagi banyak orang yang membuat janji
untuk bertemu di Shibuya. Hari ini banyak yang
berjanji untuk bertemu sepertinya. Mungkin
karena ini adalah white day[2], hari istimewa lain
bagi remaja Jepang dimana setiap pria akan
memberikan balasan atas suatu pemberian dari
teman perempuan mereka pada hari Valentine
Februari lalu.
“Buatkan satu sketsa untukku.” Sebuah suara
membuatku mengalihkan pandangan dari
sekelompok remaja yang sedang bercanda dan
berfoto di sekitar patung Hachiko.
Seorang pria berdiri di hadapanku, perawakannya
asing khas Asia Selatan dengan sedikit garis-
garis wajah orang Eropa, rambutnya berwarna
gelap, matanya coklat terang, tubuhnya tinggi dan
ia rapi.
“Ya?”
“Buatkan sketsa untukku dan pasanganku,”
ujarnya.
Aku mengangguk. “Baiklah.” Dan, beberapa saat
aku terdiam. Aku melihat ke arah kiri dan kanan.
Ia tak terlihat bersama pasangannya.
“Kelihatannya pasanganmu belum datang, ya?”
“Sudah datang.”
“Oke.” Aku mengangguk. “Dimana dia?”
“Di depanku.” Pria itu tersenyum dan
mengeluarkan sebatang lollipop dari balik
punggungnya, ia berlutut di hadapanku dan
menyerahkan lollipop itu ke dalam genggamanku.
“Aku harap, ada gadis secantik dirimu untuk
menjadi pasangan seorang penyendiri sepertiku.”
“Hah?”
“Hai, Cindai! Kuharap kamu tidak lupa padaku.”
Dia
mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Dengan canggung kusambut tangan itu. Hangat.
“Bagas.” Dia menyebutkan namanya. “Aku
tetanggamu di apartemen tingkat atas. Di
Jakarta. Aneh ya, kamu tak pernah menyadari
kalau aku ada, padahal kita selalu berpapasan
setiap pagi saat berangkat kerja.”
Aku sungguh tak tahu tentang itu. Aku
tersenyum. “Oh, maaf. Aku nggak tau.”
Nathan tersenyum. Senyumnya adalah senyum
paling menggoda yang pernah ada. Seperti
senyuman anak kecil yang polos dan manis.
Karena sikap itu, kurasa, dia bisa membuat
seluruh dunia tersenyum padanya.
Aku tersenyum. Tulus. Bukan karena tergoda
dirinya. “Jadi, apa masih mau kulukis?”
Bagas tersenyum. “Aku ingin dilukis berdua
denganmu, Cindai.”
Aku tertawa tanpa terasa. “Apa?” Kalimatnya
membuatku segera tahu dia pria seperti apa.
“Cindai, aku ingin kamu menjadi pasanganku di White
Day ini.”
Aku geleng-geleng kepala. “Kamu sangat lucu.”
Aku tersenyum. “Ya. Baiklah. Kurasa aku bisa
menemanimu mengobrol. Hari ini aku tak begitu
sibuk.”
“Hanya mengobrol?”
“Ya?”
“Hanya menemaniku hari ini?”
“Ya. Kenapa?” Aku menaikkan alis. “Oh! Jika hari
lain kau ingin ditemani jalan-jalan juga… kupikir,
tak masalah.”
“Hari ini. Hari lain. Mengobrol. Jalan-jalan.”
Nathan menghembuskan napas, seperti tak
terima. “Cindai, aku ingin kamu menemaniku
selamanya.”
Tawaku pecah seketika. Dia terlalu pandai bicara
dan suka menggoda. Dia tak bisa dipercaya.
Otakku memberi peringatan waspada.
****
Kewaspadaanku luntur.
Berbicara seharian dengannya. Berhari-hari tanpa
henti. Mendengarkan segala leluconnya.
Mendengarkan semua kata-kata bernada mesra.
Dia tak mebuatku bosan. Keajaiban. Biasanya aku
orang yang cepat bosan. Sungguh!
“Hai, CindaiKu. Apa kabarmu?” Suaranya
terdengar ceria seperti biasanya.
“Hai, gas. Ada apa? Do you miss me?”
“No.” Dia menjawab singkat.
“No?”
“I’m not a bad shooter, Ndai.”
Aku tertawa. Aku mengerti maksudnya. “Ya. Ya.
You’re not a bad shooter. Jadi, sudah berapa
banyak gadis yang terjebak, penembak jitu?”
“Uhmmm. Banyak. Aku tak bisa menghitungnya.”
“Jadi, aku juga sedang berjalan menuju jebakan,
ya?” Aku bertanya dengan santai, setengah
bercanda.
“Kamu sangat sulit dijebak. Jadi, aku tak perlu
menjebakmu. Aku hanya perlu menunggumu
menerimaku saja. Apa adanya.”
“Manis sekali.” Aku tersenyum seraya mencoba
menatap jam di atas meja hotel di samping
tempat tidurku. Pukul tiga pagi. “Ada apa
menelponku sepagi ini?”
"Untuk memberikan kejutan.”
“Kejutan?”
Suara bel pintu kamarku berbunyi.
Mengagetkanku. Siapa yang iseng begitu?
Membunyikan bel pintu jam tiga pagi. Malas
rasanya meladeni tamu atau orang iseng pada
jam segini. Aku masih ngantuk sekali. Suara bel
itu berbunyi berkali-kali, tak berhenti. Dengan
malas aku beranjak dari tempat tidurku, menuju
pintu.
Ku buka pintu tanpa curiga. Dan, senyum
menggoda itu pun menyambutku. “Bagas? Apa
yang…”
“Ikut aku!”
“Apa…” Aku tak diberi kesempatan bertanya, dia
menarik tanganku dan membawaku pergi
bersamanya. Kenapa harus jam tiga pagi dan
dalam kondisiku yang masih mengenakan
piyama?!
Sebuah mobil sport hitam metalik–Aston Martin
DBS Carbon Black–dan kain penutup mata. Itu
yang aku dapatkan begitu keluar dari tempatku
menginap, Shibuya Tokyu Inn Hotel.
Entah kejutan yang seperti apa yang ingin dia
berikan hingga aku harus duduk cukup lama
dengan mata tertutup di dalam mobil yang akan
membawaku entah kemana. Sepanjang perjalanan
aku terus mendengar candanya. Katanya, tidak
susah ternyata menculik seorang gadis dan
sepertinya pekerjaan itu cocok untuknya. Aku
menanggapinya dengan tertawa, ya, kurasa dia
benar, dia bisa menculik siapa saja dengan
mudah jika dia mau. Mungkin karena keahliannya
bicara dan menggoda.
Ketika kemudian kendaraan dihentikan, dia
menuntunku keluar dari mobil dan berjalan
menuju ke suatu tempat. Kami melewati udara
hangat yang nyaman. Suasana yang tak ramai
meski terdengar beberapa orang sedang
bercengkerama, aku rasa kami sedang memasuki
suatu bangunan. Lalu berjalan terus menuju ke
suatu tempat yang kupikir sebuah ruangan,
karena aku mendengar suara pintu yang bergeser.
Dan, kami berhenti.
“Dimana ini?”
Penutup mataku dibuka. Senyuman menggoda
pria itu menjadi pemandangan pertama yang
tertangkap oleh penglihatanku.
#TBC
Sorry pendek,atau gak nyambung
BAB 1
CHINDAI POV
Aku duduk pada sofa cafe yang empuk dan
hangat. Musim dingin berlalu lebih cepat kurasa.
Tanpa aku sadari musim semi sudah tiba. Bukan.
Bukan salah cuaca atau dunia yang sudah tua.
Tapi aku yang tak pernah ingat bahwa hari-hari
telah memiliki kalender dan jam yang nyata. Aku
sering melewatkan kesenangan melihat dua benda
penunjuk waktu itu. Kesibukan, alasanku. Aku
habiskan duniaku berputar-putar di dalam
kehidupan perusahaan yang mungkin hanya akan
menenggelamkan aku semakin dalam pada dunia
yang tanpa perasaan.
Inginnya aku tak punya perasaan saja memang.
Tapi aku manusia biasa. Luar biasa sih, kadang-
kadang, menurut teman-temanku. Luar biasa aku
bisa hidup dengan tidak mempedulikan semuanya
jika aku sudah berkeinginan demikian.
Suara musik yang tak asing mengalun mengisi
telingaku. Kiss The Rain yang disuguhkan dengan
permainan piano Yiruma benar-benar musik yang
bisa kudengarkan berulang-ulang tanpa bosan.
Karena itulah musik ini kujadikan nada dering
ponselku.
Dengan malas-malasan aku merogoh
saku hoodieku, mengambil telepon genggam.
Masih dengan ngantuk berat aku menempelkan
telepon genggam itu ke telingaku.
“Hallo…” Aneh.
Aku tak mendengar ada nada telepon yang
terputus atau suara apa pun dari telepon
genggam itu. Aku membuka mata dan melihat
layar ponselku. Tak ada panggilan atau pun
pesan masuk. Alunan suara piano itu terdengar
lagi. Dari arah di depanku.
Saat aku mencari darimana suara itu berasal,
segera kutemukan seorang pria berpenampilan
rapi dengan sikap santai sedang duduk seraya
meneguk kopi di hadapanku. Dia? Rasa kantukku
hilang dalam sekejap.
A...apa yang dia lakukan di sini?
Senyum melintas di wajah pria itu ketika ia
meletakkan cangkir kopinya di meja dan
mendapati aku begitu terkejut akan kehadirannya.
“Sudah bangun? Maaf, suara handphoneku
membangunkan putri tidur.”
“Sedang apa kamu di sini?” Aku menegakkan
posisi
dudukku seraya sekenanya merapikan rambutku
yang kusut.
Mata pria itu memandangku geli. “Minum kopi.”
Ia menjawab singkat pertanyaanku.
“Se...sejak kapan duduk di situ?” Aku tak tahu
kenapa dia selalu bisa membuatku gugup.
“Sejak lima cangkir kopi.” Ia menjawab begitu
santai.
Lima cangkir… seharusnya dia minum lima
cangkir racun saja! Jadi aku tak harus melihat
wajahnya lagi.
Aku beranjak dari kursiku. Aku tak ingin
melanjutkan percakapan dengan pria itu.
“Kenapa?” Suara pria itu seketika terdengar
serius, nada santai yang sejak tadi tersuguh
hilang entah kemana.
Langkahku terhenti di samping kursinya. “Apa?”
“Kenapa kamu pergi?”
Aku mengernyitkan dahi. “Jemputanku sepertinya
sudah datang.” Aku menjawab seadanya, lalu
meninggalkan dia di kursi itu.
Dia bukan pria asing buatku. Tapi aku sangat
ingin menjadikannya asing seperti sebelum
pertama kali kami bertemu. Satu tahun yang lalu.
***
Maret 2010. Musim semi itu memang mencairkan
salju.
Sembari menikmati langit biru jernih dan
keramaian yang ingin berteman, aku menarik
garis-garis tegas di atas buku sketsaku, goresan
pinsilku menghasilkan sebuah gambar sepasang
muda-mudi yang tersenyum bahagia. Begitu
gambar selesai, aku segera menyerahkannya
kepada gadis remaja yang sejak lima menit lalu
menunggu hasil sketsa itu.
Ucapan terima kasih dan senyuman tulus seperti
yang diberikan gadis remaja berpenampilan ala
kogal[1] dan pemuda berbalut nuansa penyanyi
idola Korea itu aku lihat setiap hari saat aku telah
menyelesaikan sketsaku. Kepuasan akan
senyuman itulah yang menyeretku ke dalam dunia
goresan kisah di atas kertas ini.
Aku kembali bersandar pada monumen patung
perunggu di depan Stasiun Shibuya itu. Mataku
menyapu keramaian sekali lagi, merekam dalam-
dalam dunia manusia aneka gaya. Masing-
masing semuanya punya warna. Menatap warna-
warna itu, aku terpaku. Satu hal tentang itu.
Mereka semua seperti kebanyakan sedang
menunggu. Mengingatkan aku pada kisah si
patung perunggu yang kusandari sejak tadi.
Hachiko. Entah menurutmu, tapi bagiku kisahnya
yang begitu nyata terasa lebih menyentuh saja
dibandingkan dengan kisah cinta klasik Romeo &
Juliet atau pun Titanic. Kisah tentangnya hidup
pada masa delapan puluh enam tahun silam.
Melalui seorang perantara Hachiko dipungut oleh
keluarga Ueno yang sangat ingin memelihara
anjing jenis Akita Inu. Hachiko dipelihara oleh
Profesor Hidesaburo Ueno yang mengajar ilmu
pertanian di Universitas Kekaisaran Tokyo. Daya
tarik kisah Hachiko yang menggerakkan
perasaanku adalah suatu momen ketika Hachiko
setiap hari selalu mengantar dan menjemput sang
majikan di stasiun setiap kali majikannya pergi
dan pulang dari bekerja. Hingga setelah sang
majikan meninggal di tempat kerjanya, Hachiko
tetap menunggu sang majikan yang tidak kunjung
pulang di Stasiun Shibuya. Ia terus menunggu
dengan setia hingga akhir nyawanya. Jasad
Hachiko kemudian dimakamkan di samping
makam sang majikan.
Kisah tentang Hachiko tak hanya menggerakkan
perasaanku, tetapi cerita itu pun menyentuh
banyak orang yang hidup dan menyaksikan
kisahnya di kala itu. Hingga kemudian seorang
pematung bernama Teru AndÅ mengabadikan
kesetiaan Hachiko dalam sebuah patung perunggu
yang lalu diletakkan di depan stasiun shibuya.
Hari ini seperti kemarin. Ramai disekitar
monumennya. Begitu khas, ia menjadi tempat
bertemu bagi banyak orang yang membuat janji
untuk bertemu di Shibuya. Hari ini banyak yang
berjanji untuk bertemu sepertinya. Mungkin
karena ini adalah white day[2], hari istimewa lain
bagi remaja Jepang dimana setiap pria akan
memberikan balasan atas suatu pemberian dari
teman perempuan mereka pada hari Valentine
Februari lalu.
“Buatkan satu sketsa untukku.” Sebuah suara
membuatku mengalihkan pandangan dari
sekelompok remaja yang sedang bercanda dan
berfoto di sekitar patung Hachiko.
Seorang pria berdiri di hadapanku, perawakannya
asing khas Asia Selatan dengan sedikit garis-
garis wajah orang Eropa, rambutnya berwarna
gelap, matanya coklat terang, tubuhnya tinggi dan
ia rapi.
“Ya?”
“Buatkan sketsa untukku dan pasanganku,”
ujarnya.
Aku mengangguk. “Baiklah.” Dan, beberapa saat
aku terdiam. Aku melihat ke arah kiri dan kanan.
Ia tak terlihat bersama pasangannya.
“Kelihatannya pasanganmu belum datang, ya?”
“Sudah datang.”
“Oke.” Aku mengangguk. “Dimana dia?”
“Di depanku.” Pria itu tersenyum dan
mengeluarkan sebatang lollipop dari balik
punggungnya, ia berlutut di hadapanku dan
menyerahkan lollipop itu ke dalam genggamanku.
“Aku harap, ada gadis secantik dirimu untuk
menjadi pasangan seorang penyendiri sepertiku.”
“Hah?”
“Hai, Cindai! Kuharap kamu tidak lupa padaku.”
Dia
mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Dengan canggung kusambut tangan itu. Hangat.
“Bagas.” Dia menyebutkan namanya. “Aku
tetanggamu di apartemen tingkat atas. Di
Jakarta. Aneh ya, kamu tak pernah menyadari
kalau aku ada, padahal kita selalu berpapasan
setiap pagi saat berangkat kerja.”
Aku sungguh tak tahu tentang itu. Aku
tersenyum. “Oh, maaf. Aku nggak tau.”
Nathan tersenyum. Senyumnya adalah senyum
paling menggoda yang pernah ada. Seperti
senyuman anak kecil yang polos dan manis.
Karena sikap itu, kurasa, dia bisa membuat
seluruh dunia tersenyum padanya.
Aku tersenyum. Tulus. Bukan karena tergoda
dirinya. “Jadi, apa masih mau kulukis?”
Bagas tersenyum. “Aku ingin dilukis berdua
denganmu, Cindai.”
Aku tertawa tanpa terasa. “Apa?” Kalimatnya
membuatku segera tahu dia pria seperti apa.
“Cindai, aku ingin kamu menjadi pasanganku di White
Day ini.”
Aku geleng-geleng kepala. “Kamu sangat lucu.”
Aku tersenyum. “Ya. Baiklah. Kurasa aku bisa
menemanimu mengobrol. Hari ini aku tak begitu
sibuk.”
“Hanya mengobrol?”
“Ya?”
“Hanya menemaniku hari ini?”
“Ya. Kenapa?” Aku menaikkan alis. “Oh! Jika hari
lain kau ingin ditemani jalan-jalan juga… kupikir,
tak masalah.”
“Hari ini. Hari lain. Mengobrol. Jalan-jalan.”
Nathan menghembuskan napas, seperti tak
terima. “Cindai, aku ingin kamu menemaniku
selamanya.”
Tawaku pecah seketika. Dia terlalu pandai bicara
dan suka menggoda. Dia tak bisa dipercaya.
Otakku memberi peringatan waspada.
****
Kewaspadaanku luntur.
Berbicara seharian dengannya. Berhari-hari tanpa
henti. Mendengarkan segala leluconnya.
Mendengarkan semua kata-kata bernada mesra.
Dia tak mebuatku bosan. Keajaiban. Biasanya aku
orang yang cepat bosan. Sungguh!
“Hai, CindaiKu. Apa kabarmu?” Suaranya
terdengar ceria seperti biasanya.
“Hai, gas. Ada apa? Do you miss me?”
“No.” Dia menjawab singkat.
“No?”
“I’m not a bad shooter, Ndai.”
Aku tertawa. Aku mengerti maksudnya. “Ya. Ya.
You’re not a bad shooter. Jadi, sudah berapa
banyak gadis yang terjebak, penembak jitu?”
“Uhmmm. Banyak. Aku tak bisa menghitungnya.”
“Jadi, aku juga sedang berjalan menuju jebakan,
ya?” Aku bertanya dengan santai, setengah
bercanda.
“Kamu sangat sulit dijebak. Jadi, aku tak perlu
menjebakmu. Aku hanya perlu menunggumu
menerimaku saja. Apa adanya.”
“Manis sekali.” Aku tersenyum seraya mencoba
menatap jam di atas meja hotel di samping
tempat tidurku. Pukul tiga pagi. “Ada apa
menelponku sepagi ini?”
"Untuk memberikan kejutan.”
“Kejutan?”
Suara bel pintu kamarku berbunyi.
Mengagetkanku. Siapa yang iseng begitu?
Membunyikan bel pintu jam tiga pagi. Malas
rasanya meladeni tamu atau orang iseng pada
jam segini. Aku masih ngantuk sekali. Suara bel
itu berbunyi berkali-kali, tak berhenti. Dengan
malas aku beranjak dari tempat tidurku, menuju
pintu.
Ku buka pintu tanpa curiga. Dan, senyum
menggoda itu pun menyambutku. “Bagas? Apa
yang…”
“Ikut aku!”
“Apa…” Aku tak diberi kesempatan bertanya, dia
menarik tanganku dan membawaku pergi
bersamanya. Kenapa harus jam tiga pagi dan
dalam kondisiku yang masih mengenakan
piyama?!
Sebuah mobil sport hitam metalik–Aston Martin
DBS Carbon Black–dan kain penutup mata. Itu
yang aku dapatkan begitu keluar dari tempatku
menginap, Shibuya Tokyu Inn Hotel.
Entah kejutan yang seperti apa yang ingin dia
berikan hingga aku harus duduk cukup lama
dengan mata tertutup di dalam mobil yang akan
membawaku entah kemana. Sepanjang perjalanan
aku terus mendengar candanya. Katanya, tidak
susah ternyata menculik seorang gadis dan
sepertinya pekerjaan itu cocok untuknya. Aku
menanggapinya dengan tertawa, ya, kurasa dia
benar, dia bisa menculik siapa saja dengan
mudah jika dia mau. Mungkin karena keahliannya
bicara dan menggoda.
Ketika kemudian kendaraan dihentikan, dia
menuntunku keluar dari mobil dan berjalan
menuju ke suatu tempat. Kami melewati udara
hangat yang nyaman. Suasana yang tak ramai
meski terdengar beberapa orang sedang
bercengkerama, aku rasa kami sedang memasuki
suatu bangunan. Lalu berjalan terus menuju ke
suatu tempat yang kupikir sebuah ruangan,
karena aku mendengar suara pintu yang bergeser.
Dan, kami berhenti.
“Dimana ini?”
Penutup mataku dibuka. Senyuman menggoda
pria itu menjadi pemandangan pertama yang
tertangkap oleh penglihatanku.
#TBC
Sorry pendek,atau gak nyambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar