SAPU TANGAN MERAH
Pagi hari yang cerah ini, serasa begitu indah disambut dengan embun
pagi yang menetes pelan–pelan di dedaunan. Hari ini serasa sejuk dengan
angin yang berhembus pelan menghampiriku. Lizzi memulai pagi yang cerah
ini dengan menyiapkan beberapa perlengkapan sekolah yang ingin dibawanya
nanti. Lizzi bergegas mandi dan sarapan, Dia memanggil ayahnya “Ayah
hari ini lizzi berangkat sekolah sendiri ya?” Kata lizzi. Ayah menjawab
“Iya, tapi hati–hati jalanan sangat ramai.” lizzi menjawab “Oke ayahku
yang ganteng”.
Rumahku agak sedikit jauh dari sekolahku, tapi itu tidak membuatku
patah semangat untuk meraih cita-citaku. Dia mengendarai sepeda dengan
santai dan menikmati udara pagi sambil menyanyikan lagu yang kusuka.
Setiba di sekolah, lizzi menaruh sepedanya di halaman sekolah. “Huff…
capek juga ternyata” kata lizzi.
Aku memasuki kelas ketika Brata membersihkan halaman depan kelas. Dia
memanggilku “Hai lizzi” kata Brata. Aku langsung menjawab sapaannya
“hai juga.” Brata menghampiriku dan berkata bahwa dia ingin membicarakan
sesuatu yang sangat amat penting. Namun apa yang terjadi, bel sekolah
sudah berbunyi dan aku segera masuk kelas.
Pelajaran pertama dimulai, kali ini pelajarannya adalah menyulam.
“kalian sudah mebawa peralatan untuk menyulam anak-anak?” kata Bu Guru.
Aku sibuk mencari-cari peralatan menyulamku di tas, teman-teman yang
lain sudah memulai untuk menyulam. Aku kelihatan bingung dan sekujur
tubuhku dipenuhi keringat yang menetes di wajahku.
Ternyata peralatan menyulamku ketinggalan ketika ingin berangkat
sekolah, “aduhhh gawat nih, aku bisa dimarahin bu guru.” kataku. Aku
ketakutan dan aku hampir menangis.
Brata segera menolongku untuk membantu mencarikan. “Ada apa ini?”
kata Bu Guru. Aku terus terang kepada bu guru, tapi dengan perasaan
tidak enak. Tetapi bu guru tidak marah sama sekali, ketika aku tidak
membawa peralatanku. Brata dengan senang hati memberikan sebagian
peralatan sulamnya padaku. Aku memulai menyulam dengan didampingi oleh
brata yang selalu ada di sisiku. Dia mengajariku dengan penuh
ketelatenan dan sabar dalam menghadapiku. Brata mengajak aku untuk
bercanda, sampai-sampai tanganku terkena tusukan jarum sulam dan terasa
sakit sekali. “Aww, aduhh sakit sekali nih” kataku. Brata langsung
meletakkan sulamannya ke meja dan menolongku membersihkan lukaku yang
terkena tusukan jarum, dia sangat perhatian denganku. Dia segera berlari
mengambilkan obat merah untukku. Berselang itu, aku melanjutkan
menyulam dan bercanda dengan dia. “Hati-hati nanti tanganmu terluka
lagi.” kata Brata. Aku menjawab “Iya, makasih atas perhatiannya”.
Ternyata dia selesai duluan menyulam. “Woww, hebat juga ya kamu!”
kataku. Dia hanya tersenyum. “Raut wajahnya seperti ingin mengatakan
sesuatu kepadaku, tapi apa yang ingin dikatakan?” pikirku. Selang waktu
berganti dia memulai pembicaraannya dengan kata “aku hanya ingin
menyampaikan sesuatu padamu” kata brata. Ketika ingin membicarakan
sesuatu yang sangat penting, bel sekolah sudah berbunyi waktunya masuk
sekolah dan memulai pelajaran lagi.
Pelajaran bahasa indonesia dimulai dengan membuat puisi dan harus
dibaca di depan kelas. Aku mengintip sedikit puisinya, kulihat itu cukup
bagus, tapi apa dia menulis sebuah karangan puisi yang sangat
mengharukan, aku hanya membaca judulnya “Perpisahan Seorang Sahabat”.
Aku langsung terkejut melihat puisi itu. Ketika bu guru memanggil nama
Brata, aku langsung membantunya untuk menyelesaikan kalimat terakhirnya
untuk menutup puisinya. Dia membaca dengan menghayati dan sangat dalam
hingga mengeluarkan air mata. Teman-teman menatap brata dengan penuh
rasa haru dan sedih ketika dia membacakan puisi itu di depan kelas. Aku
hanya tertunduk terdiam melihat dia membacakan puisi itu, aku hanya
menangis tersedu-sedu melihat dia mengatakan kata-kata terakhir menutup
puisinya. “Walau ini perih rasanya meninggalkan seorang sahabat”. Kata
brata. Dia kembali ke tempat duduk dan memandangiku. Aku hanya tertunduk
lesu sambil menatap dia dengan pandangan yang serius. Dia mengambil
sapu tangan merahnya dari saku tasnya dan mengusapkan wajahku dengan
sapu tangan pemberian dia. Brata berkata “jangan sedih terus, aku disini
akan tetap bersamamu walaupun aku…” Aku memotong pembicaraannya karena
aku berfikir pasti ini ada yang tidak beres.
Saat jam kosong, dia membuat sepucuk surat dan aku tidak
memperdulikannya. Dia mencoba berbicara denganku, tapi aku tak
menanggapinya. Ketika dia ingin mengucapkan sesuatu hal yang sangat
penting, bu guru datang dengan membawa seseorang yang ingin menyampaikan
sesuatu. “Anak-anak tenanglah sedikit, ini ada pengumuman untuk kalian”
kata bu guru. Orang itu adalah ayahnya Brata yang sengaja datang ke
sekolah untuk menjemput brata dan ingin membawanya pergi jauh mengikuti
jejak ayahnya. Seketika aku hanya memandangi brata yang sangat tertunduk
diam dan hanya menatap ke meja. “Apa ini yang akan akan dia katakan
padaku?” kataku. “Apa benar brata dan seluruh keluarganya akan pindah
jauh?” pikirku.
Ternyata pikiranku tidak meleset sekalipun, brata dan seluruh
keluarganya akan pindah ke tempat yang sangat jauh. Aku hanya mencoba
tegar dalam menghadapi masalah ini, dia terus memegangi tanganku dan
mendekapku dalam pelukannya. Aku terus menangis sambil memeluk brata
yang mencoba menenangkanku. “Ini sapu tanganku akan menemanimu dalam
setiap waktu.” Aku berfoto-foto dengan dia, walaupun hati terasa sedih
dan pilu aku tetap tersenyum melihatnya. Aku pulang dengan memandangi
brata dan terus menyebut nama brata.
Sewaktu sampai di rumah, aku melihat sepucuk surat yang tergeletak di
lantai teras rumahku. Aku langsung segera mengambilnya dan membaca
surat itu dengan penuh hati-hati, ternyata isi surat itu berisi sebuah
karangan puisi yang indah dari brata dan di bawah karangan puisi itu
“tolonglah kamu datang ke taman dekat rumahmu, aku akan tetap menunggumu
disini”. Aku langsung beranjak pergi dan mengayuh sepedaku sambil
menggenggam sapu tangan merah. Sampai-sampai aku menabrak seekor kucing
yang lewat di depanku, aku menaruh kucing itu di pinggir taman dan aku
melihat seorang laki–laki duduk di antara barisan dedaunan yang kering.
Nafasku mulai terengah-engah dan memanggil nama “Brata” dan dia pun
segera menghampiriku yang terlihat sangat sedih sambil memelukku. Aku
tidak bisa berkata apa-apa saat aku ada didekap dia, hanya tangan dan
air mata membasahi tubuhku. Aku menangis dan dia juga menangis, dia
mengajakku untuk duduk dan berkata “Sapu tangan ini akan menemanimu
setiap saat dan sampai kapanpun jiwaku tetap ada di sapu tangan ini,
tolonglah jaga sapu tangan ini dengan penuh ketulusan hatimu dan kasih
sayangmu yang telah kau berikan padaku.” kata brata. “Mungkin ini memang
berat rasanya meninggalkanmu disini sendirian.” Kata brata. Aku hanya
bisa memandanginya dan mengeluarkan air mata, rasanya sakit menusuk hati
seperti ditusuk–tusuk oleh jarum jahit yang menancap terlalu dalam di
hatiku. Dia mengusap air mataku untuk terakhir kalinya dan dia siap
pergi meninggalkanku sendirian disini. “Jangan lupakan aku brata, kau
tetap ada di hatiku tuk selama-lamanya, aku berjanji”. Kataku.
Aku pulang dengan membawa sapu tangan yang terus melekat di tanganku dan kubawa sepedaku sampai ke rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar